SUSAHNYA MEMBUAT CERPEN
Oleh : Ahmad Arif Faizin/02/XII IPA 4
“Selamat pagi anak-anak....” terdengarlah suara Ibu Susi, guru bahasa Indonesiaku. Beliau berbicara dengan tersenyum sambil melenggang masuk ke kelasku. Spontan perhatian teman-temanku yang tadinya kesana kemari sekarang menuju guruku yang satu ini. Sedangkan aku yang masih terkantuk-kantuk karena bosan mulai bangun karena suara Ibu Susi yang menggetarkan gendang telingaku.
“Pagi Bu......” jawab teman temanku kompak layaknya paduan suara.
“Baik anak-anak...”katanya memulai pelajaran bahasa Indonesia hari ini.
“Karena kita baru memulai pelajaran pada hari ini, saya akan menjelaskan terlebih dahulu materi materi yang akan kita pelajari pada semester ini.” Kemudian beliau mengambil spidol. Lalu menuliskan materi materi tersebut pada papan tulis putih di depan kami itu. Ini adalah hari kedua pertemuanku dengan Ibu Susi. Pada pertemuan sebelumnya, kami hanya saling berkenalan, jadi aku sangat senang karena biasanya pada awal pelajaran seperti ini hanya materi biasa yang santai. Namun, hari itu tak seperti yang aku harapkan.
“Anak-anak, karena masih baru beberapa hari masuk sekolah, kalian pasti masih malas untuk belajar.” Ibu Susi menebak perasaan kami. Kami semua hanya senyum senyum sanyum dan saling berpandangan dengan teman sebangku. Kemudian dengan wajah tersenyum, beliau meneruskan kata-katanya.
“Karena itu, untuk 2 jam ke depan kalian saya suruh curhat.”Ceritanya santai.
“Curhat??? Mencurahkan Hati??? Maksudnya???” Mungkin itu yang dikatakan hati teman-temanku jika hati mereka bisa bicara setelah mendengar kata-kata Ibu Susi tadi. Semuanya terlihat bingung sambil berbisik-bisik dengan partner sebangkunya. Ibu Susi tidak mempedulikan dan terus melanjutkan perkataanya yang belum selesai.
“Nanti kalian akan curhatdengan teman kalian, terserah dengan siapa saja yang kalian mau, mungkin dengan teman sebangkunya, dengan pacarnya juga boleh, itu terserah kalian, Mungkin Faiz mau sama Asti.” Deg...jantungku berhenti 2 detik. Kata Bu Susi tadi membuatku sesak. Yah... aku memang pernah berhubungan dengan dia, tapi itu dulu. Tak kusangka Ibu Susi berkata itu. Untung saja teman teman hanya diam karena mereka sudah tahu akan hal itu.
“Setelah curhat, lalu kalian membuat cerpen dari cerita teman anda tersebut!” Katanya dengan nada tinggi. Deg...jantungku sekarang berhenti 3,lebih lama 1 detik dari yang tadi. Aku benar-benar kaget. Kata ”cerpen” telah menusuk hatiku. Itu karena aku paling tidak bisa mengarang, apalagi membuat cerpen. Itu adalah kelemahanku sejak SD dulu. Aku selalu mendapat nilai buruk pada hal sepeti ini. Hawa panas merambat ke seluruh badanku. Entah bagaimana nasibku nanti.
“Nah...sekarang kalian boleh keluar dari ruangan kelas untuk mencari tempat ternyaman untuk saling curhat.” Suruh Ibu Susi dengan raut muka tersenyum.
“Iz.. Faiz.. pergi ke masjid saja yuk ke masjid” ajak teman akrabku, Afan. Akhirnya aku bersama sahabat sahabatku, Afan, Sani dan Rudi.
“Sekalian sholat Dhuha yuk, biar pikiran tenang.” Celoteh Sani. Kami pun mengiyakan. Usai sholat Dhuha, aku mencoba mencari-cari cerita dari teman-temanku. Tetapi, rata-rata mereka malas untuk menceritakan cerita pribadinya, atau lebih tepatnya malu. Hanya para perempuan yang mau curhat. Akhirnya kami sepakat untuk membuat sendiri-sendiri saja.
Walaupun sudah sholat Dhuha, tetapi pikiranku masih tidak tenang, apalagi tidak ada yang mau curhat. Sungguh pusing kepalaku. Tujuh burung telah berputar-putar mengitari kepalaku. Hawa panas kembali merasuki tubuhku. Aku hanya bisa berbaring dengan pikiran kosong sampai akhirnya waktunya kembali ke kelas.
“Anak-anak...buatlah yang kreatif dan semenarik mungkin, dan untuk pengumpulannya dua minggu lagi. Berjuanglah !” katanya menutup pelajaran hari ini masih dengan tersenyum sambil melenggang keluar kelas.beberap detik kemudian sosoknya sudah hilang. Aku benar-benar tak tahu apalagi yang harus akulakukan.
Sesampainya di rumah, aku hanya bisa menyiapkan beberapa lembar kertas putih bersih untuk diisi cerpen yang akan aku buat, namun sampai beberapa jam masih saja itu kosong. Masih putih bersih seputih salju di Alaska. Otakku benar-benar seperti tak ada isinya. Hampa. Tak ada sengatan semangat yang membuatku ingin menulis sedikitpun. Layaknya mainan robot tanpa batu beterei.
Detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam. Hari demi hari telah terlewati. Namun kertasnya masih saja seperti salju di Alaska. Bahkan aku sudah lupa kalau ada tugas membuat cerpen karena kertas yang dulu aku beli belum tersentuh sedikit pun. Baru setelah pelajaran bahasa Indonesia berikutnya lagi aku ingat kalau ada PR membuat cerpen.
“Bagaimana cerpenmu Iz?” tanya Anton yang duduk di sebelahku sebelum pelajaran bahasa Indonesia dimulai.
“Yah begitu lah Ton...masih belum kepikiran apa apa. Aku benar-benar bingung, lha kamu bagaimana?”
“Alhadulillah..punyaku sudah mencapai setengah dari cerita. Aku sudah buat 1,5 halaman.”
“Wah..hebat sekali Ton..sudah membuat sebanyak itu!”
“Alahh..biasa aja kok...bukankah rata rata semuanya juga sudah membuat sebanyak itu. Justru kamu yang luar biasa, masak belum buat sama sekali.” Mukaku langsung memerah mendengar itu. Ternyata memang hanya aku yang belum menulis sama sekali.
Sejak hari itu, aku mulai mencoba menulis cerpen di kertas salju Alaska itu. Namun setelah beberapa menit, aku baca lagi tulisanku. Aku merasa kurang bagus. Aku beri tanda silang besar pada tulisanku itu. Aku remas itu. Aku buang ke tempat sampah. Aku ulangi lagi menulis lagi, namun beberapa kali juga aku meremas dan membuangnya. Begitu beberapa kali sampai buku hampir hampis. Hari hari aku lalui tanpa ada kemajuan yang berarti, tak terasa dua hari lagi cerpen tersebut harus dikumpulkan. Aku benar-benar bagaikan ranting yang tua dan mau jatuh dari pohonnya. Tak ada harapan lagi.
“Nak, tolong kamarmu itu dibersihkan dulu...sudah beberapa hari ini kamarmu tidak dibersihkan kan?” Suruh ibuku dari luar kamarku.
“Bentar Bu..Aku sedang sibuk nih buat cerpen.”
“Dibersihkan aja dulu nak..biar belajarnya nyaman..”
”Iya deh..” Sahutku malas sambil beranjak dari meja belajar. Lalu ku bersihkan kamarku yang sudah seperti kapal pecah karena sudah lima hari tak aku bersihkan. Pada saat membersihkan kamar, tiba-tiba aku melihat buku “Negeri 5 Menara” yang tergeletak tertutupi pakaian pakaianku.
Aku baru ingat kalau aku sedang membaca buku itu baru separuh cerita. Aku tak sempat karena sibuk membuat cerpen itu. Tiba-tiba muncul ide cemerlang terbesit di otakku setelah melihat buku itu. Sebuah lampu menyala terang di kepalaku. Aku ingat kalau buku “Negeri 5 Menara” itu adalah buku karya Ahmad Fuadi. Buku itu dibuat berdasarkan kisah nyatanya waktu muda dulu. Hatiku berkata.
“Mungkin jika aku menceritakan kisah nyataku sendiri, itu akan lebih mudah daripada harus berkhayal mengarang sesuatu yang lebih rumit.” Akhirnya saat itu juga aku buat ceritaku saat awal disuruh membuat cerpen sampai cerpennya selesai.
Tak kusangka-sangka, ternyata membuat cerpen berdasarkan kisah nyata jauh lebih mudah. Otakku terasa dialiri listrik 500 watt. Menjalankan semua bagian-bagian otakku, layaknya mainan robot yang dapat berjalan cepat setelah dipasang baterei ABC. Semua suka dukaku saat membuat cerpen kuceritakan secara detil tak lewat sedikit pun. Dalam waktu kurang lebih 4 jam, cerpenku selesai dengan sempurna.
Aku benar-benar puas dengan hasil jerih payahku saat ini. Ternyata benar, kata-kata yang ada dalam buku “Negeri 5 Menara” tersebut, yaitu man jadda wajada yang bermakna “Siapa Yang Bersungguh-Sungguh, Akan Berhasil”. Satu lagi pelajaran berharga yang kudapat. Ternyata membaca buku itu banyak manfaatnya.Aku benar-benar tertolong.
Sekarang aku tinggal mengetik naskah penuh corat-coret di depanku ini. Aku mulai santai mengetik huruf-huruf ke dalam netbook Advan munyil di depanku. Sungguh sekarang aku benar-benar menikmati hasilnya. Jari jemariku menari-nari di atas keyboard menorehkan huruf huruf ke dalam Microsoft Word 2007 di depan mataku.
Akhirnya cerpenku selesai juga kuketik, waktu menunjukkan 08.00 dan aku harus mengeprintnya di luar untuk kukumpulkan besok pagi, aku simpan file-ku dengan judul “Susahnya Membuat Cerpen” ke dalam flashdisk V-gen-ku. Aku segera ke warnet di dekat pasar untuk mendapatkan print out cerpenku. Tiba-tiba terjadi hal yang tak terduga.
“Aduh..sial..flashdiskku terkena virus, sekarang aku tak bisa mem-print cerpenku” teriakku dalam hati. Sia-sia aku menulis selama ini. Aku terduduk lesu di depan komputer server warnet itu. Aku benar-benar bingung. Entah bagaimana nasibku nanti. Kuputar otakku untuk menyelesaikan masalah ini.
“Aha...” aku teringat sesuatu. Akhirnya aku dapat menemukan caranya. Ada lampu menyala lagi di otakku. Ada ide di otakku.
“Aku baru ingat kalau aku pernah baca di majalah komputer tentang software untuk mengembalikan data yang hilang, namanya kalau nggak salah Recuva , lagi lagi aku berterima kasih karena mengingatkanku tentang majalah itu, dan lagi lagi pula hobiku membaca membantuku lagi hari ini. Segera aku download langsung software tersebut, aku install, dan...
“Alhamdulillah...akhirnya fileku bisa kembali juga. Terima kasih Tuhan” tanpa pikir panjang file SUSAHNYA MEMBUAT CERPEN.docx aku print, suara printer itu benar-benar menyejukkan hatiku. Lima lembar kertas telah keluar dengan sehat dari printer itu. Aku benar benar bahagia. Aku puas.
Esok harinya, aku kumpulkan karya cerpen terbaikku itu ke Ibu Susi bersama dengan cerpen-cerpen milik teman-temanku. Satu minggu kemudian. Ibu Susi memberitahuku kalau cerpenku mendapatkan nilai yang di antara seluruh cerpen XII yang dikumpulkan.
Sekali lagi aku ucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberiku kebahagiaan ini. Terima Kasih Tuhan.
~~~SELESAI~~~
Comments
Post a Comment