I. JUAL BELI
a. Pengertian jual beli
Jual beli menurut bahasa arab al-bay’ yang artinya menjual, mengganti dan menukar ( sesuatu dengan sesuatu yang lain), kata al-bay’ terkadang juga digunakan untuk pengertian lawan katanya , yaitu Asy-syira’ yang artinya membeli.
Menurut ‘ulam’ fiqih jual beli adalah saling tukar menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan melalui cara tertentu yang bermanfaat . jual beli merupakan sarana tolong menolong dalam kehidupan. Dalam Al- Quran surat Al-baqarah ayat disebutkan.
Artinya : “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam muslim antar lain :
Artinya :“Nabi Muhammad saw telah melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan “ (HR. imam muslim).
b. Hukum jual beli
Melihat dari dasar hokum di atas jual beli hukmnya mubah. Namun , pada situasi tertentu hokum jual beli bisa beubah menjadi wajib, haram, sunnah dan makruh.
* balig, kecuali nilainya tdk besar
b. Syarat barang yg diperjualbelikan :
* suci
* bermanfaat
* diketahui kadar, jenis, sifat, dan harganya
* milik sendiri, atau milik orang lain yg dikuasakan
c. Bentuk ijab Qabul
* Lisan, seperti : “saya menjual …. Atau saya membeli …”
* tulisan, seperti label harga
* isyarat, seperti orang yg cacat
e. Perbuatan yang diharamkan dalam jual beli:
Khiyar artinya boleh memilih, meneruskan aqad jual beli atau mengurungkan ( tidak jadi jual beli )
” Dua orang yang melakukan akad jual beli, dibolehkan khiyar (pilihan) selama belum terpisah. Jika keduanya benar dan jelas, maka keduanya diberkahi dalam jual beli mereka. Jika mereka menyembunyikannya dan berdusta maka Allah akan menghilangkan keberkahan jual beli mereka.”
Maksudnya setiap pihak mempunyai hak untuk meneruskan atau membatalkan akad selama keduanya belum berpisah secara fisik. Maksud ’berpisah’ disesuaikan situasi dan kondisi yang ada. Di tempat yang kecil maka dihitung sejak ia keluar, sedangkan untuk tempat akad yang luas, di hitung sejak ia berpindah dari salah satu segi tampat duduknya, sekitar dua atau tiga langkah.
Jika keduanya bangkit dan pergi bersama-sama, maka pengertian berpisah belum ada. Pendapat yang dianggap paling kuat, bahwa yang dimaksud berpisah disesuaikan dengan adat kebiasaaan setempat.
Intinya, bahwa khiyar majlis itu menjadi putus adakalanya disebabkan berpisahnya kedua belah pihak
Seperti seseorang berkata, ”saya jual rumah ini dengan harga Rp100.000.000,00 dengan syarat khiyar-selama tiga hari”.
Rosulullah Saw bersabda :
”Kamu boleh khiyar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam”
C. RIBA’
a. Pengertian Riba’
Riba’ artinya lebih atau bertambah, maksutnya pengembalian yang melebihi dari pinjaman sesuai dengan perjanjian yang telah disetuji sebelumnya.
b. Macam – macam riba’
D. SYIRKAH
a. Pengertian Syirkah
Syirkah atau sarikat dalam istilah ekonomi islam merupakan suatu aqad dalam bentuk kerja sama baik dalam bidang modal maupun jasa tertentu. Syirkah saat ini berkembang pesat, karna manfaat yang dpreoleh lebih nyata. Yang perlu diperhatikan, para anggota tidak boleh bertanya harus mempunyai niat baik bersikap jujur dan tidak boleh berkhianat .
Artinya : “ Rasulullah saw. Bersabda Allah swt telah berkalam : “ Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah seorang diantaranya tidak mengkhianati yang lain. Namun apabila salah seorang diantara keduanya itu berkhianat, maka aku akan keluar dari perserikatan keduanya” ( HR. Abu Daud dan Hakim)
Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].
Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
c. Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi wasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Shalallahu alaihi wasalam membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra : Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
Source : http://morphoamathonte.wordpress.com/2010/12/03/transaksi-ekonomi-dalam-islam/
a. Pengertian jual beli
Jual beli menurut bahasa arab al-bay’ yang artinya menjual, mengganti dan menukar ( sesuatu dengan sesuatu yang lain), kata al-bay’ terkadang juga digunakan untuk pengertian lawan katanya , yaitu Asy-syira’ yang artinya membeli.
Menurut ‘ulam’ fiqih jual beli adalah saling tukar menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan melalui cara tertentu yang bermanfaat . jual beli merupakan sarana tolong menolong dalam kehidupan. Dalam Al- Quran surat Al-baqarah ayat disebutkan.
Artinya : “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam muslim antar lain :
Artinya :“Nabi Muhammad saw telah melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan “ (HR. imam muslim).
b. Hukum jual beli
Melihat dari dasar hokum di atas jual beli hukmnya mubah. Namun , pada situasi tertentu hokum jual beli bisa beubah menjadi wajib, haram, sunnah dan makruh.
- Mubah (boleh) : hukum dasar jual beli
- Sunat : jual beli orang yg membutuhkan
- Wajib : bila keadaan memaksa
- Haram : jual beli secara ijon, jual beli barang haram
- Syarat Penjual dan Pembeli :
* balig, kecuali nilainya tdk besar
b. Syarat barang yg diperjualbelikan :
* suci
* bermanfaat
* diketahui kadar, jenis, sifat, dan harganya
* milik sendiri, atau milik orang lain yg dikuasakan
c. Bentuk ijab Qabul
* Lisan, seperti : “saya menjual …. Atau saya membeli …”
* tulisan, seperti label harga
* isyarat, seperti orang yg cacat
- d. Macam – macam Jual Beli
- Jual beli yangsidak terlarang adalah jual beli yang dipenuhi rukun dan syaratnya .
- Jual bli yang terlarang dan tidak syah adalah jual beli yang salah satu rukun atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi
- Jual beyang syah tapi terlarang
e. Perbuatan yang diharamkan dalam jual beli:
- Membeli untuk menimbun
- Menghadang penjual sebelum penjual mengetahui harga pasar
- Membeli utk disimpan agar dpt dijual dg harga yg lebih mahal
- Menjual barang utk tujuan maksiat
- Jual beli yg terdapat unsur penipuan
- Jual beli rampasan perang sebelum dibagikan
- Menjual anggur kpd yg biasa membuat minuman keras
- Menjual senjata yg diketahui utk tujuan jahat
- Jual beli barang yg bercampur dg barang haram
- Jual beli dg banyak sumpah disertai dusta
- Jual beli di dalam masjid
- Jual beli waktu adzan shalat jumat
- II. KHIYAR
Khiyar artinya boleh memilih, meneruskan aqad jual beli atau mengurungkan ( tidak jadi jual beli )
- b. Macam – macam khiyar :
- Khiyar majlis, artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majlis), khiyar majlis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli.
” Dua orang yang melakukan akad jual beli, dibolehkan khiyar (pilihan) selama belum terpisah. Jika keduanya benar dan jelas, maka keduanya diberkahi dalam jual beli mereka. Jika mereka menyembunyikannya dan berdusta maka Allah akan menghilangkan keberkahan jual beli mereka.”
Maksudnya setiap pihak mempunyai hak untuk meneruskan atau membatalkan akad selama keduanya belum berpisah secara fisik. Maksud ’berpisah’ disesuaikan situasi dan kondisi yang ada. Di tempat yang kecil maka dihitung sejak ia keluar, sedangkan untuk tempat akad yang luas, di hitung sejak ia berpindah dari salah satu segi tampat duduknya, sekitar dua atau tiga langkah.
Jika keduanya bangkit dan pergi bersama-sama, maka pengertian berpisah belum ada. Pendapat yang dianggap paling kuat, bahwa yang dimaksud berpisah disesuaikan dengan adat kebiasaaan setempat.
Intinya, bahwa khiyar majlis itu menjadi putus adakalanya disebabkan berpisahnya kedua belah pihak
- Khiyar syarat, yaitu penjualan yang di dalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun oleh pembeli . Jika ia menerima maka jual beli tersebut terlaksana, dan apabila tidak maka dibatalkan. Pengajuan syarat tersebut dibolehkan bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak .
Seperti seseorang berkata, ”saya jual rumah ini dengan harga Rp100.000.000,00 dengan syarat khiyar-selama tiga hari”.
Rosulullah Saw bersabda :
”Kamu boleh khiyar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam”
- Khiyar ’aib, artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli. Seperti seseorang berkata; ”Saya beli mobil itu seharga sekian, bila mobil itu cacat akan saya kembalikan”, seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Aisyah r.a. bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut disuruh berdiri di dekatnya, didapatinya pada diri budak itu kecacatan, lalu diadukannya kepada rasul, maka budak itu dikembalikan kepada penjual.
- c. Hukum Khiyar
C. RIBA’
a. Pengertian Riba’
Riba’ artinya lebih atau bertambah, maksutnya pengembalian yang melebihi dari pinjaman sesuai dengan perjanjian yang telah disetuji sebelumnya.
b. Macam – macam riba’
- Riba’ Fadhli : tukar menukar dua buah barang yang sama jenisnya, tetapi tidak sama ukurannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarnya .
- Riba’ Qordhli : meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjamnya.
- Riba’ Yad : berpisah dari tempat aqad jual beli sebelum serah terima.
- Riba’ Nasi’ah : tukar menukar yang sejenis atau tidak atau jual beli yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan pertambahan waktu.
- c. Hukum Riba’
D. SYIRKAH
a. Pengertian Syirkah
Syirkah atau sarikat dalam istilah ekonomi islam merupakan suatu aqad dalam bentuk kerja sama baik dalam bidang modal maupun jasa tertentu. Syirkah saat ini berkembang pesat, karna manfaat yang dpreoleh lebih nyata. Yang perlu diperhatikan, para anggota tidak boleh bertanya harus mempunyai niat baik bersikap jujur dan tidak boleh berkhianat .
Artinya : “ Rasulullah saw. Bersabda Allah swt telah berkalam : “ Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah seorang diantaranya tidak mengkhianati yang lain. Namun apabila salah seorang diantara keduanya itu berkhianat, maka aku akan keluar dari perserikatan keduanya” ( HR. Abu Daud dan Hakim)
- b. Macam –macam Syirkah
- Syirkah Inân
Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).
- Syirkah ‘Abdan
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].
Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).
- Syirkah Mudhârabah
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).
- Syirkah Wujûh
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).
- Syirkah Mufâwadhah
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
c. Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
- Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
- 2 pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
- Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
- Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
- Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi wasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Shalallahu alaihi wasalam membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra : Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
Source : http://morphoamathonte.wordpress.com/2010/12/03/transaksi-ekonomi-dalam-islam/
Comments
Post a Comment